Tragedi Pemburu Kunang
Memburu kunang dua pemeran utama dalam adegan pertunjukan di Gedung kesenian Jakarta, Sabtu (27/2). Pementasan Kelompok Siluet dengan judul Memburu Kunang-Kunang yang menceritakan tentang Pekerja TKI. Teater Siluet mementaskan persoalan TKW dengan menggunakan simbol kunang-kunang untuk menggambarkan impian para pekerja migran Indonesia di luar negeri. Seorang perempuan berjalan melewati deretan penonton dengan tali tambang mengikat lehernya. Napasnya tersengal, jalannya tertatih.
Menurut pengamatan Standardisasi’s Blog, di depan dan belakangnya, empat perempuan menaiki kuda kepang berjalan seperti kesurupan. Semua sempoyongan. Dalam hening, perempuan itu berkata pada sebuah bayangan. ”Maafkan emak Nak, karena tidak bisa melihatmu tumbuh dewasa kelak. Maafkan aku ya Taryo, suamiku tercinta, karena istana yang kita impikan kini berubah menjadi astana bagiku dan kesedihan bagimu. Tidak bila aku tidak gelap mata karena dikejar-kejar rentenir dan kebutuhan hidup serta kemiskinan yang selalu menggerayangi hidup kita. Tidak bila aku tidak berprasangka buruk kepada nyonya majikan akibat perlakuannya,” ujarnya.
Jalannya makin lambat dan langkahnya tampak letih. ”Tidak bila Tuhan tidak kuanggap tidak pernah adil membagikan rezeki kepada hambanya, aku tidak akan mati di sini.Bila memang Tuhan mengganjarkan padaku neraka, toh itu lebih baik karena Tuhan yang memberikan petaka, bukan nyonya gendut yang sombong atau Lek Parman si rentenir tua itu. Mungkin memang kematian adalah lebih baik yo. Tidak akan lagi ceritanya diinjak bangsa sendiri atau diinjak bangsa lain, tidak akan ada lagi majikan dan babu, yang ada hanya Tuhan dan manusia. Selamat tinggal Mas Taryo, aku titip Bejo anak kita satu-satunya. Ajari dia supaya jadi orang,supaya ndak jadi emak dan bapaknya,” suaranya makin lirih, lalu terjatuh. Ia mati.
Seketika itu juga panggung gelap. Ending kisah Pemburu Kunangkunang yang dipentaskan Teater Siluet memang terasa sangat menyentuh. Penonton disodori sebuah fragmen drama yang menguras air mata. Dengan konsep musikal,Teater Siluet melihat persoalan TKW di luar negeri menggunakan simbol kunang-kunang untuk menggambarkan impian para pekerja migran Indonesia di luar negeri. ”Kunang-kunang itu sebuah sinar yang ada, tetapi tiada. Sama seperti TKW, mereka mencoba merengkuh apa yang mereka impikan, yang kadang tidak sesuai dengan kenyataan,”tegas Herry.
Kisah yang dipentaskan Teater Siluet di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) selama dua hari (dari 26–27 Februari) itu diangkat dari selembar surat tanpa editan. Yanti sebelum menjalani hukuman mati yang menimpa dirinya di Arab Saudi menyempatkan diri untuk membuat catatan. Ia dihukum mati dengan cara dipancung pada 12 Januari 2008 lalu. Kisah itu dimainkan dengan sangat baik oleh Teater Siluet. Kisah pilu sebuah keluarga dan orang-orang yang berada di perantauan, mencari rezeki dalam balutan metafor kunang-kunang. Pertunjukan teater musikal itu mengisahkan nasib buruk pekerja Indonesia yang berjuang di negeri orang, dan sekedar mengingatkan saja bahwa postingan saya sebelumnya menulis tentang Kasus Bank Century.
Karena himpitan ekonomi, mereka harus pergi meninggalkan tanah air tercinta, meninggalkan keluarga, meninggalkan kerabat sembari berharap bisa pulang selamat. Sayang seribu sayang,di negeri orang, kunang-kunang tak selalu memancarkan sinarnya. Kunang-kunang tak selalu membawa kebahagiaan hingga derita tenaga kerja di negeri orang kerap menjadi sebuah berita buruk bagi orang yang ditinggalkan. Tragedi si pemburu ”kunangkuang” seperti Yanti hanyalah satu dari sekian tragedi terungkap yang menimpa para TKW Indonesia di luar negeri.
Ada sisi menarik yang ditampilkan Yanti dalam suratnya, yaitu bagaimana ia menuangkan gejolak batinnya sebelum menghadapi maut. Lewat cacatannya kita pun tahu bagaimana duka, perasaan dan perjuangan seorang ibu rumah tangga hingga titik darah terakhir. Tentu saja masih banyak kisah pemburu ”kunang-kunang” seperti Yanti. Mereka berjuang untuk menghidupi keluarga. Mereka berani meninggalkan anakanak yang mereka cintai.Namun, tentu juga tidak banyak yang meninggalkan catatan pilu seperti Yanti, karena rata-rata TKW tidak banyak yang melek huruf.
Yang jelas, kisah yang dialami Yanti merupakan gambaran aktual di sekitar kita,yakni bagaimana kemiskinan itu selalu menggerogoti hidup masyarakat kecil. ”Kita angkat kisah ini karena memang ini ada di sekitar kita.Kalimat terakhir yang diucapkan Yanti, kita ambil dari surat terakhir yang ditulis Yanti sebelum dihukum pancung.Kita tidak edit tulisan itu,”jelas Herry Teater yang dimainkan anakanak muda Teater Siluet memang sangat menyentuh. Lakon derita seorang TKW dimainkan dengan konsep musikal. Sepanjang pertunjukkan, penonton disuguhi jalinan cerita yang dikemas dalam lagu.
Nyaris tidak ada dialog yang tajam. Dominasi lagu dan tari menjadi pertunjukkan ini jadi mirip atraksi musik daripada teater murni. Untung saja, irama pop yang diusung cukup enak didengar sehingga penonton tidak begitu bosan. ”Kita memang menyusun konsep sedemikian rupa.Kita ingin banyak tarian dan musik dalam jalinan cerita daripada dialog sepanjang pertunjukkan,”dalih Herry.
-
Maret 10, 2010 pukul 6:49 pmBursa Kembali Bergairah « Standardisasi's Blog